19 Agu 2008

Sudah Merdekakah Kita?

17 agustus baru saja kita lewati, sekali lagi kita merayakan kemerekaan kita. Tapi benarkah kita telah merdeka? Sebuah pertanyaan nakal tapi menggugah hati. Ucapkan dengan pelan dan perlahan, benarkah Indonesia merdeka? Secara konvensional Indonesia memang sudah merdeka. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan pada Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahuan Jepang, atau 17 Ramadan 1365 Tahun Hijriah dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat. Kita memang telah merdeka dari penjajahan belanda dan jepang, tapi merdekakah kita dari neo-kolonialisme? Coba pertimbangkan hal-hal berikut :

Pertama. Sudah merdekakah anak-anak kita sudahkah mereka mendapat pendidikan layak, kesempatan bermain layak, bebas dari kekerasan dan eksploitasi bukankah anak-anak adalah masa depan kita. Sudah merdekakah mereka atau, Kemerdekaannya hanya ada di awang-awang? Pendidikanku yang malang.. Dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia misalnya, Indonesia jauh tertinggal. Memang Indonesia berhasil mengukir prestasi indah dalam beberapa olimpiade sains belum lama ini. Namun itu hanya sebatas menunjukkan, bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar.

Padahal bila kita melihat pada alenia ke empat dalam Pembukaan UUD tahun 1945 tentang cita-cita bangsa Indonesia yang ingin dicapai, terdapat salah satu point yang menyebutkan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selain itu dalam batang tubuh UUD tahun 1945 dalam Pasal 31 menyebutkan “setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang layak”. Kedua point tersebut tidak pernah terealisasi dan hanya menjadi angan-angan belaka. Kalimat-kalimat yang indah itu hanya menjadi bahasa-bahasa langit yang sulit sekali untuk dapat diterjemahkan dalam bahasa yang membumi, khususnya pada masyarakat yang ingin sekali merasakan nikmatnya dunia pendidikan. Bagi pemerintah pendidikan hanya berada dinomor sekian, bahkan dalam anggaran pendidikan saja dibawah 20%.

Kedua. Merdekakah kita dengan kekayaan alam yang kita miliki? penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan asing di Indonesia adalah jawaban yang lugas betapa kini pun Indonesia belum merdeka. PT Freeport Indonesia, PT Newmont, atau PT Exxon Mobil adalah beberapa contoh kukuhnya kepentingan asing dalam pengerukan sumber daya alam Indonesia. Persis seperti jaman penjajahan dulu! Belum lagi penjualan saham-saham BUMN telekomunikasi Indonesia yang kini sebagian dikuasai pihak asing, seperti PT. Indosat atau PT. Telkomsel sebagai anak perusahaan PT. Telkom.

Ketiga. Banggakah kita dengan kebudayaan kita? kini budaya-peradaban masyarakat Indonesia tak bisa dibedakan lagi dengan masyarakat dunia, khususnya dunia Barat. Pola hidup import bukan saja melanda selera makanan masyarkat Indonesia, melainkan juga keseluruhan pola hidup (keluarga, tidur, pakaian, juga seks). Dengan ciri kebebasan, Barat telah menjajah peradaban masyarakat Indonesia. Maka semua serba bebas: pergaulan bebas, seks bebas, pakaian bebas, makanan bebas dan sebagainya? Bukankah ini penjajahan juga!

Keempat. Merdekakah kita dari intervensi negara lain? mengapa bisa diizinkan negara lain menggunakan wilayah Indonesia untuk latihan militer? Dalam perjanjian kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) antara RI dan Singapura ditandatangani di Bali, 27 April 2007 disebutkan bahwa Singapura diberi hak untuk melakukan latihan militer di Indonesia dalam wilayah laut dan udara tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Sebaliknya Indonesia mendapat kompensasi untuk melakukan kerjasama ekstradisi.

Jika perjanjian itu berhasil dirativikasi oleh parlemen, maka ini menjadi bukti terinjaknya kedaulatan Indonesia. Jika kemerdekaan diartikan sebagai hengkangnya kekuatan militer asing, maka Indonesia belumlah merdeka. Dengan kata lain, Singapura, negara kecil itu, telah “menundukkan” wilayah teritorial Indonesia. Jadi, Indonesia ternyata masih dijajah Singapura!

Kelima. politik luar negeri Indonesia masih yang tunduk pada kepentingan negara lain, terutama Amerika Serikat, menunjukkan bahwa politik bebas aktif yang sering dikumandangkan belum benar-benar dijalankan. Ini artinya dalam menentukan kebijakan luar negeri, Indonesia belum merdeka.

Tunduknya Indonesia pada AS (juga Australia) dalam perang global melawan terorisme adalah contoh telanjang belum merdekanya dari kekuatan asing. Selama ini dikesankan bahwa perang melawan terorisme itu adalah untuk kepentingan bersama. Tapi, diakui atau tidak dalang utamanya adalah AS. Maka perang melawan terorisme menjadi perang buta terhadap kelompok-kelompok Islam, dan ini adalah sebuah agenda strategis AS.

Contoh lain yang cukup relevan adalah persetujuan Indonesia pada keputusan DK-PBB yang mengeluarkan resolusi 1747 yang berisi sanksi atas program nuklir damai Iran.

Sebagai anggota tidak tetap DK PBB, seharusnya Indonesia berani melakukan “perlawanan”, sekecil apapun, terhadap hegemoni negara-negara besar yang selama ini bersikap semena-mena dengan hak vetonya, sementara keputusan itu selalu dirasakan tidak adil, terutama untuk negara dunia ketiga, dan lebih khusus lagi adalah negara-negara Islam seperti Irak, Iran, Libya, atau Palestina.

Jika secara wilayah, ekonomi, politik, dan budaya-peradaban sudah tidak lagi mencerminkan independensi Indonesia, maka masih pantaskah teriakan “Merdeka!” dikumandangkan dengan lantang? Apa artinya merdeka dari kolonialisme klasik jika masuk pada sarang neo-kolonialisme? Masih pantaskah kita meneriakkan kata merdeka?

Diolah dari majalah Muslim, edisi Agustus 2007 dan berbagai sumber.

Tidak ada komentar: