17 agustus baru saja kita lewati, sekali lagi kita merayakan kemerekaan kita. Tapi benarkah kita telah merdeka? Sebuah pertanyaan nakal tapi menggugah hati. Ucapkan dengan pelan dan perlahan, benarkah
Pertama. Sudah merdekakah anak-anak kita sudahkah mereka mendapat pendidikan layak, kesempatan bermain layak, bebas dari kekerasan dan eksploitasi bukankah anak-anak adalah masa depan kita. Sudah merdekakah mereka atau, Kemerdekaannya hanya ada di awang-awang? Pendidikanku yang
Padahal bila kita melihat pada alenia ke empat dalam Pembukaan UUD tahun 1945 tentang cita-cita bangsa
Kedua. Merdekakah kita dengan kekayaan alam yang kita miliki? penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan asing di Indonesia adalah jawaban yang lugas betapa kini pun Indonesia belum merdeka. PT Freeport Indonesia, PT Newmont, atau PT Exxon Mobil adalah beberapa contoh kukuhnya kepentingan asing dalam pengerukan sumber daya alam Indonesia. Persis seperti jaman penjajahan dulu! Belum lagi penjualan saham-saham BUMN telekomunikasi Indonesia yang kini sebagian dikuasai pihak asing, seperti PT. Indosat atau PT. Telkomsel sebagai anak perusahaan PT. Telkom.
Ketiga. Banggakah kita dengan kebudayaan kita? kini budaya-peradaban masyarakat Indonesia tak bisa dibedakan lagi dengan masyarakat dunia, khususnya dunia Barat. Pola hidup import bukan saja melanda selera makanan masyarkat Indonesia, melainkan juga keseluruhan pola hidup (keluarga, tidur, pakaian, juga seks). Dengan ciri kebebasan, Barat telah menjajah peradaban masyarakat Indonesia. Maka semua serba bebas: pergaulan bebas, seks bebas, pakaian bebas, makanan bebas dan sebagainya? Bukankah ini penjajahan juga!
Keempat. Merdekakah kita dari intervensi negara lain? mengapa bisa diizinkan negara lain menggunakan wilayah
Jika perjanjian itu berhasil dirativikasi oleh parlemen, maka ini menjadi bukti terinjaknya kedaulatan
Kelima. politik luar negeri Indonesia masih yang tunduk pada kepentingan negara lain, terutama Amerika Serikat, menunjukkan bahwa politik bebas aktif yang sering dikumandangkan belum benar-benar dijalankan. Ini artinya dalam menentukan kebijakan luar negeri, Indonesia belum merdeka.
Tunduknya Indonesia pada AS (juga Australia) dalam perang global melawan terorisme adalah contoh telanjang belum merdekanya dari kekuatan asing. Selama ini dikesankan bahwa perang melawan terorisme itu adalah untuk kepentingan bersama. Tapi, diakui atau tidak dalang utamanya adalah AS. Maka perang melawan terorisme menjadi perang buta terhadap kelompok-kelompok Islam, dan ini adalah sebuah agenda strategis AS.
Contoh lain yang cukup relevan adalah persetujuan Indonesia pada keputusan DK-PBB yang mengeluarkan resolusi 1747 yang berisi sanksi atas program nuklir damai Iran.
Sebagai anggota tidak tetap DK PBB, seharusnya Indonesia berani melakukan “perlawanan”, sekecil apapun, terhadap hegemoni negara-negara besar yang selama ini bersikap semena-mena dengan hak vetonya, sementara keputusan itu selalu dirasakan tidak adil, terutama untuk negara dunia ketiga, dan lebih khusus lagi adalah negara-negara Islam seperti Irak, Iran, Libya, atau Palestina.
Jika secara wilayah, ekonomi, politik, dan budaya-peradaban sudah tidak lagi mencerminkan independensi Indonesia, maka masih pantaskah teriakan “Merdeka!” dikumandangkan dengan lantang? Apa artinya merdeka dari kolonialisme klasik jika masuk pada sarang neo-kolonialisme? Masih pantaskah kita meneriakkan kata merdeka?
Diolah dari majalah Muslim, edisi Agustus 2007 dan berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar